Kantin FE Baru, tempat di mana calon ekonom membicarakan masa depan...

Education Trap



Duh, belum kenyang nih dengan Yamin Polos. Saatnya buat ronde dua dengan makan Spaghetti Bolognaisse. Pesen satu ahh! Dan Es teh manis biar ndak haus. Sambil nunggu pesanan, mari kita berdiskusi. Topik kali ini adalah kemiskinan dan pendidikan.

Kemiskinan jelas sudah menjadi sebuah topik yang tiada akhirnya di Indonesia. Sebagai negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam, Indonesia merupakan negara yang tingkat kemiskinannya masih sangat tinggi. Hingga tahun 2008 lalu, tingkat kemiskinan di Indonesia masih sekitar 37%, tidak jauh berkurang dari 32 tahun lalu yaitu tahun 1976 yang sekitar 38%.
Melalui masa 30 tahun dan jumlah kemiskinan negara ini tidaklah banyak berkurang. Sebutan Asian Miracle mungkin hanya sebuah kulit belaka karena ternyata di dalamnya masih banyak masalah sosial seperti kemiskinan yang tidak teratasi dengan baik.

Kunci utama dari pengentasan kemiskinan sebenarnya tidak lain adalah pendidikan. Dengan pendidikan yang cukup, penduduk miskin dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Bahkan jika perekonomian sedang dalam kondisi Full Employment, penduduk miskin dapat menciptakan lapangan kerja sendiri dengan entrepreneurship dengan modal pendidikan dan pengetahuannya itu. Oleh karena itu, akses pendidikan bagi penduduk miskin merupakan sesuatu yang harus ditingkatkan.

Akan tetapi, sebenarnya negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, penduduk miskin diletakkan dalam kondisi di mana mereka mengalami kesulitan untuk keluar dari kemiskinan. Sebab, penduduk miskin mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan. Hal ini dapat dikarenakan oleh biaya dan lokasi. Pendidikan di Indonesia, terutama yang berkualitas terpusat di Jakarta saja, di mana sekolah negeri dapat berjumlah ratusan. Sedangkan di pulau selain Jawa, sekolah dalam satu kota mungkin dapat dihitung dengan jari. Selain itu, sekolah di Indonesia tidak memenuhi prinsip barang publik, yaitu non-rivalry dan non-excludability. Pendidikan sudah menjadi barang komersial di Indonesia.

Sehingga, penduduk miskin tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak. Tanpa pendidikan yang layak, maka penduduk miskin tidak dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Kemudian, tanpa pekerjaan yang layak, penduduk miskin tak dapat memperoleh penghasilan yang cukup. Tanpa penghasilan yang cukup penduduk miskin tak dapat mengakses pendidikan. Dan siklus tersebut akan berlanjut terus. Itulah yang disebut dengan Education Trap atau Jebakan Pendidikan yang menyebabkan penduduk miskin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan..

Memang, di Indonesia saat ini sudah ada program sekolah gratis. Tetapi, bagaimana dengan kualitasnya? Jelas sekolah-sekolah yang gratis ini tidak akan memiliki kualitas setingkat dengan sekolah unggulan nasional (yang seluruhnya berkumpul di Jakarta). Bahkan, kualitasnya umumnya jauh dibandingkan dengan sekolah unggulan nasional. Hal ini menciptakan disparity of education antar sekolah dan daerah.

Pemerintah harus mulai menjalankan program pemerataan pendidikan. Jangan hanya pendapatan yang harus diberikan pemerataan, pendidikan pun harus mengalami pemerataan agar setiap penduduk memperoleh pendidikan yang berkualitas untuk memperbaiki nasibnya. Jika kita menggunakan teori ekonomi (agak lupa namanya apa), di mana penduduk kaya memberikan kompensasi bagi penduduk miskin dengan menggunakan transfer of income untuk mencapai pemerataan pendapatan, bagaimana jika hal tersebut diterapkan pada pendidikan? Sekolah-sekolah yang sudah dikategorikan unggulan harus melakukan subsidi silang terhadap sekolah lainnya yang belum memiliki kualitas yang baik (pada umumnya sekolah unggulan memiliki tarif pendidikan yang relatif lebih mahal). Subsidi silang ini akan digunakan untuk melengkapi fasilitas sekolah-sekolah gratis tersebut sehingga dapat mendukung kegiatan belajar-mengajar yang kondusif dan berkualitas. Dengan demikian, pemerataan pendidikan dapat tercapai. Inilah konsep yang disebut sebagai Distribution of Education.

Dengan demikian, penduduk miskin memiliki kesempatan untuk keluar dari Jebakan Pendidikan yang menahan mereka tetap berada dalam lingkaran setan kemiskinan. Walaupun pendidikan bukanlah satu-satunya determinan kemiskinan, tetapi peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan merupakan kesempatan baru bagi pengentasan kemiskinan.

Begitulah menurut gw kawan2. Bagaimana pendapat kalian?

Regards,
Wirapati

No comments:

 
kaFE Baru © 2008 | Créditos: Templates Novo Blogger