Saat langit keadilan runtuh
kaFE Baru
Kantin FE Baru, tempat di mana calon ekonom membicarakan masa depan...
Saat Langit Keadilan Runtuh
Saat langit keadilan runtuh
Education Trap
Duh, belum kenyang nih dengan Yamin Polos. Saatnya buat ronde dua dengan makan Spaghetti Bolognaisse. Pesen satu ahh! Dan Es teh manis biar ndak haus. Sambil nunggu pesanan, mari kita berdiskusi. Topik kali ini adalah kemiskinan dan pendidikan.
One Day Nationalism
Lama tak berjumpa. Gw mau memesan Yamin Polos (menu favorit klo lagi bokek. heheh). Baiklah, kali ini sekali-sekali gw mau posting dalam bahasa inggris. Yah, itung2 latihan english gitu lahh. Okay, let's get it on!
Back in
That day was the day where Batik was inaugurated as
It has been years since the first conflict with
Nationalism by Wearing Batik in One Day
Several weeks before the D-Day of the inauguration, people started to spread the request of using Batik for the ceremonial day. We can see the request to wear Batik from Facebook, Twitter, Mailing List, Text Message or any other possible media. Even in my campus at
One of the issues that has been surfaced to entice people to wear Batik for that day is the issues of nationalism. People started to spread the issue that to show our nationalism towards our country, we must wear Batik to celebrate the ceremonial day.
It was a good and positive idea, but there is one worrying problem arisen at the same time. People started to think that someone who did not wear Batik on that day as someone who are non-chalant for Indonesian culture, that they are considered as not celebrating the event. Those who did not wear Batik that day are considered as not having the sense of nationalism.
Does nationalism really that simple?
Nationalism cannot be judged by that very small matters. Does the people who wear Batik for that day can be acknowledged as the people who have a good sense of nationalism?
Obviously, they cannot.
There are a lot of ways to show our nationalism and wearing Batik for one day is just a small portion from a greater one. Those who did not wear Batik for that day must not be judged one-sidedly like that. They might have their own way to show their love for the country. They might have a greater nationalism than those who wore Batik that day. Moreover, those who only wear Batik for the sake of that ceremonial and forget about it later are the people who lack of nationalism. Because, their nationalism is limited as just a ceremony.
Nationalism is not merely wearing Batik for just one day.
Before The Conflict with
This Batik issue has only been an intriguing issue in
This nationalism issue has only arisen right after the conflict where Batik was one-sidedly announced by
Maybe, it was not purely
And, now we one-sidedly judge people who did not wear Batik as lack of nationalism. We value other people without valuing our past fault that this pride of
Showing Our Nationalism
The past is the past. Our non-chalant attitude almost give
People in
We have to start to accept it as our daily outfit. But, it is not that easy since Batik has been considered as an old-fashioned outfit which only appropriate for wedding attire.
There is one possible answer for this problem: creative industry. Creative Industry. By promoting creative industry, it is possible to produce Batik outfits that are appropriate for casual attire and formal attire. If the people cannot adapt easily, then it is the product that needs to adapt with the people.
The present creative industry has started to produce Batik which can be used for every event. Now is our turn to use the product of creative industry, especially Batik, as our form of appreciation to Indonesian culture. Once we get used to it, Batik will become our daily outfit, and therefore, Batik as our traditional culture can be cherished.
That’s how we show our nationalism.
Nama Baru, Semangat Baru
Heyy, para pengunjung ABC. Mulai saat ini, kami telah mengubah nama blog kami menjadi Kantin FE Baru (KaFE Baru). Mengapa diubah demikian, sebab tempat tersebut merupakan tempat yang sangat dekat dengan para penulis. Ya, tempat tersebut (KaFE Baru) merupakan tempat di mana para penulis berkumpul dan berdiskusi terhadap semua topik, mulai dari yang paling santai hingga yang paling serius, mulai dari kuliah hingga kehidupan organisasi, dan segalanya. Tanpa mengubah esensinya, para penulis mengubah nama blog ini agar lebih terasa dekat dan santai.
Posisi Indonesia dalam ASEAN Economic Community 2015
gw akan ngoceh2 sedikit tentang asean, so, i'll order 1 "rendang"burger(indo), 1 small bowl of Halo-halo(philippines),i small bowl of tom yam (thai, kalo gak abis gw kasih ke roy), and 1 portion of lumpia vietnam, sambil disuguhin video tari pendet khas INDONESIA (its not yours, malaysia)
ASEAN Economic Community (AEC) adalah salah satu dari 3 pilar konsep ASEAN Integration yang telah disetujui bersama oleh Kepala Negara dari 10 negara anggota ASEAN dalam pertemuan di Bali tahun 2003 yang dikukuhkan lewat Declaration of ASEAN Concord II atau yang dikenal dengan BALI Concord II. Konsep utama dari AEC adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, factor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan .
Melalui terwujudnya AEC, yang utama posisi tawar ASEAN di perekonomian global menjadi lebih kuat. Kemudian kesempaatan lainnya yang melihat dari tujuan AEC yang dideklarasikan melalui Bali Concord II yaitu terciptanya wilayah ekonomi ASEAN yang stabil, makmur, dan sangat kompetitif dimana terjadi aliran bebas atas barang, jasa, investasi dan modal, pembangunan ekonomi yang merata dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi di tahun 2020 .
Melalui free flow of investment, masalah ketidakseimbangan pendanaan di Negara-negara ASEAN diharapkan teratasi, dengan menguatnya posisi tawar ASEAN sebagai sebuah komunitas ekonomi yang terintegrasi diharapkan investasi asing langsung (FDI) akan tersalurkan ke ASEAN dimana semua anggotanya dapat merasakan manfaat dana tersebut tidak hanya sebagian negara saja jika masing-masing bergerak sendiri mengatasnamakan negara masing-masing. Dalam hal ini yang diuntungkan adalah Negara-negara berkembang dan tentunya Negara miskin di dalam ASEAN karena selama ini ASEAN dilihat dari sisi ekonomi terbagi seolah dalam beberapa kelompok 1)Negara yang mengalami “Significantly transformed economies” yang bisa disejajarkan dengan Negara maju yaitu Singapura, 2)Negara dengan “Emerging Economies” yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan VietNam, dan 3) Negara yang termasuk ke dalam “poorest nations” di dunia seperti Laos, Myanmar dan Kamboja .
Dalam hal merebut FDI yang masuk ke ASEAN sebagai sebuah komunitas ekonomi terintegrasi nantinya, Indonesia harus mau dan mampu membenahi sistem hukum dan peraturan terkait penanaman modal asing dan factor-faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor. Faktor keamanan nasional dan jaminan akan iklim usaha dan perlindungan bagi dana investor yang masuk. Permasalahan yang masih muncul dalam penanaman FDI ke sejumlah Negara ASEAN adalah karena terkendala faktor national law yang lebih banyak melindungi investor lokal. Indonesia menghadapi dilema tentang hal ini, dimana dalam negeri menuntut lebih diberinya kesempatan investor dalam negeri atas nama nasionalisme sedangkan kebutuhan akan FDI dan komitmen akan AEC juga perlu dijalankan. UU penanaman Modal Asing di Indonesia masih dianggap belum “mengundang” bagi investor asing sedangkan di dalam negeri UU ini dianggap telah merugikan pelaku usaha nasional dan mengabaikan peran pemerintah dalam melindungi asset bangsa.
Dengan memanfaatkan aliran bebas dalam barang, tenaga kerja, modal yang diiringi dengan teknologi, melalui konsep AEC ini idealnya akan terjadi transfer keahlian dan teknologi dari ‘brand leader” di ASEAN kepada perusahaan lokal di Negara-negara anggota yang masih tertinggal di bidang perekonomian untuk memperbaiki budaya usaha dan meningkatkan kapasitas serta kualitas produksi.
Tantangan dalam terwujudnya aliran bebas barang dan jasa dalam AEC adalah karena masih berlakunya tariff perdagangan antar Negara ASEAN meskipun 6 negara ASEAN termasuk Indonesia telah sepakat secara nyata mengurangi tariff perdagangan didalam ASEAN untuk sejumlah barang yang termasuk kedalam Inclusion List (IL) hingga menjadi maximum hanya 5%. Table berikut memuat daftar tariff perdagangan sejumlah Negara ASEAN untuk perdagangan intra-regional
Harapan dengan terwujudnya zero trade tariff di AEC adalah terbentuk pasar tunggal ASEAN yang potensial, hal ini akan sangat berguna seperti masa sekarang saat demand dari Amerika dan eropa sedang turun terhadap produk ekspor Negara Asia dan ASEAN seperti Indonesia. ASEAN memiliki keunggulan jika memang dapaat terbentuk sebuah single market yang kuat, karena ASEAN sebenarnya memiliki market fragmentation yang lebih luas daripada China .
Hal lain yang menjadi tantangan bagi aliran bebas barang adalah adanya ketidaksamaan kualitas barang produksi dan peraturan teknik di industry masing-masing Negara. Demi terwujudnya pemerataan kualitas produksi maka ASEAN coordinating Committee on Standards and Quality (ACCSQ) telah bekerja dalam memastikan bahwa Negara-negara di ASEAN mulai memperbaiki kualitas proses produksi dan hasil produksi agar setara dan dapat sama-sama bersaing dalam pasar global serta terjadi arus barang yang saling menguntungkan dalam pasar intra-regional ASEAN . Keuntungan bagi Indonesia adalah adanya standar kualitas di ASEAN membuat produsen local Indonesia menjadi terpacu untuk memperbaiki kualitas sehingga produknya lebih baik dan lebih berdaya saing keluar.
Tantangan bagi Indonesia dalam AEC diantaranya ketidaksiapan kebijakan ekonomi yang mendukung, undang-undang dan tenaga kerja serta pelaku dunia usaha tanah air yang belum siap secara kualitas dalam meraih kesempatan yang ada dan bersaing head-to-head bersaing dengan negara lain dengan kondisi perekonomian yang lebih kuat dibanding Indonesia.
Kekhawatiran yang ditakutkan dari AEC adalah nantinya Indonesia akan banyak diserang oleh tenaga kerja-tenaga kerja asing yang lebih berkualitas, modal asing yang berlebihan sumbangannya bagi perekonomian atau masuknya produk-produk asing yang lebih murah dengan kualitas lebih baik sedangkan kondisi di dalam negeri tenaga kerja kita masih banyak yang bekum terdidik dan terlatih, usaha local lemah dipermodalan dan kualitas pengelolaan usaha dan produk dalam negeri kalah bersaing, sehingga akibatnya kita tidak akan bisa mewujudkan mimpi menjadi “tuan di negeri sendiri”.
Permasalahan yang juga kemudian muncul dari AEC ini adalah kemungkinan adanya national interest yang lebih diutamakan dalam proses penyatuan ini, sehingga akan ada pendahuluan kepentingan masing-masing Negara dibandingkan kepentingan bersama yang disepakati demi kemajuan komunitas.
ASEAN Economic Community 2015 dimana Indonesia berkomitmen penuh untuk mewujudkannya bersama dengan sejumlah Negara anggota ASEAN lainnya telah menyediakan konsep yang member kesempatan bagi semua anggotanya dalam mengambil benefit termasuk bagi Indonesia, yang diperlukan adalah bagaimana Indonesia sebagai bagian dari komunitas ASEAN berusaha mempersiapkan kualitas diri untuk dapat mengambil kesempatan tersebut dan bersaing dengan Negara tetangga di ASEAN sehingga ketakutan akan “kalah bersaing” di negeri sendiri akibat terbentuknya AEC tidak terjadi.
references:
1. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Bank Indonesia.
2. Publikasi ASEAN Secretariat melalui www.asean-secretariat.org
3. Tullao, Tereso S. Modeling a Scenario of Asian Integration: Political, Economic and Cultural Approaches.Disampaikan dalam 2nd International Conference, De La Salle University – Manila. Januari 2009.
4. Mr.Ryan Patrick Evangelista “Private Sector’s Perspectives on ASEAN Integration” disampaikan dalam 2nd International Conference, De La Salle University-Manila 2009.
5. Cuyvers, Ludo; De Lombaerde, Philippe. “From AFTA towards an ASEAN Economic Community…and Beyond”.Centre for ASEAN Studies. Januari 2005. http://webh01.ua.ac.be/cas/PDF/CAS46.pdf
P.S : tulisan ini dapat dinikamti pula di Voice of Economics (VOE)nya KANOPI edisi bulan Agustus dan di personal blognya happy
Krisis Finansial AS dan Intervensi Pemerintah
Wahh, lama sekali tak berkunjung untuk menikmati sebuah burger di sini. maklum, akhir2 ini puasa jadi jarang berkunjung. Siang puasa, malem teraweh. Hehehe... Anyway, gw mo Mashed Potatoes ditambah dengan Spaghetti Bolognaise hari ini. Uda lama gak makan beginian.
Hari ini, dibandingkan memaparkan keseluruhan pemikiran di kepala gw di dalam blog ini, gw hanya ingin memberikan sebuah kasus untuk kita diskusikan. Gw harap, teman2 yang membacanya memberikan tanggapan dan komentar atas apa yang akan gw katakan. Make it a discussion, guyz.
Pastinya semua sudah mendengar mengenai Krisis Finansial di AS yang sedang hangat2nya di berita karena Sub-prime Mortgage kemudian disusul dengan ambruknya Lehman Brothers Financial Co. yang mengakibatkan rontoknya bursa Wall Street. Kebankrutan yang dialami oleh Lehman Brothers menyebabkan guncangan yang sangat besar di sektor finansial dunia. Risiko sistemik yang disebabkan oleh shock tersebut merambah hingga ke negara2 maju seperti Jepang dan Inggris, serta Uni Eropa. Obligasi yang dimiliki oleh Lehman Brothers mencakup banyak negara di dunia sehingga kebankrutannya menyebabkan ancaman risiko krisis likuiditas di negara2 terseut, termasuk Indonesia. Jelas sekali bahwa Bank nomor 4 di AS ini memegang kunci sistemik sektor finansial dunia.
Apakah hal menarik yang dapat kita diskusikan di sini?
Melihat betapa besarnya risiko yang dipegang oleh Lehman Brothers, mengapa pemerintah AS tidak melakukan intervensi terhadap Lehman Brothers untuk menyelamatkannya dari kebankrutan yang bersifat sistemik? Hal ini diputuskan oleh pemerintah AS pada tanggal 14 September 2008 yang menyebabkan Lehman Brothers menyatakan kebankrutannya pada tanggal 15 September 2008. Sementara itu, pemerintah lebih mementingkan untuk menyelamatkan AIG yang terancam ambruk akibat bankrutnya Lehman Brothers. Mengapa?
Kedua hal tersebut sangat menarik untuk dibahas. Nah, gw menantikan jawaban dari kalian semua.
While waiting, I'll enjoy my burger!
Wirapati
Image Bandara Kita

Changi International Airport
Singapore

Bandara Internasional Soekarno-Hatta
Indonesia
Coba kita perhatikan kedua...
Tampak sebuah wibawa yang berbeda antara bandara Indonesia dan Singapur. Jelas bandaa Singapur secara bentuk dan fasilitasnya lebih mencerminkan bandara internasional yang berwibawa dibandingkan Indonesia. Oke, mungkin karena Singapur lebih tajir dari kita. But, that's not the only problem we had here.
Sebelum itu, gw mau pesen Tuna Croissant Sandwich dan Thai Tea. Uda lama gak menikmati keduanya. Let's start!
Apakah makna dari bandara internasional bagi sebuah negara? Apakah hanya sebuah tempat pesawat terbang yang mendarat dan kemudian terbang lagi? Atau hanya tempat parkir pesawat yang sedang menunggu jadwal flight? Atau mungkin tempat orang berlalu-lalng dai satu empat ke tempat lain dalam waktu sekejap saja?
Lebih dari itu! Makna dari sebuah bandara internasional lebih dari sekedar empat transit, tempat parkir pesawat dan halte untuk berpergian internasional. Bandara internasional adalah sebuah gerbang, gerbang pertama dari sebuah negara saat ada pengunjung dari luar negeri tiba ke sebuah negara. Oleh karena itulah, bandara internasional adalah sebuah image pertama dari sebuah negara, simbol kewibawaan lapis pertama.
Indonesia memiliki bandara internasional dengan fasilitas yang jelas kalah dengan Singapur. Karena memang kita negara berkembang dan Singapur negara maju. Tapi, apakah fasilitas cukup dalam memberikan image dan wibawa bagi sebuah bandara. Tidak! Bagaimana bandara tersebut diatur dan tertib adalah image yang lebih penting lagi.
Kita sering melihat di Soekarno-Hatta (SH) mengenai betapa tidak teraturnya bandara internasional itu. Banyak pedagang kaki lima. Banyak orang yang duduk sembarangan di bandara. Banyak orang yang merokok bahkan di tempat dilarang merokok. Banyak calo. Kotoran dan sampah banyak terlihat di bagian luar SH. Dan terlebih buruknya lagi, hal2 tersebut di atas juga dilakukan oleh pegawai SH.
Gw uda pernah ke Changi dan melihat bagaimana berwibawanya bandara ini. Bukan hanya karena fasilitasnya. Tapi betapa rapi dan tertibnya bandara ini. Semua orang berjalan dengan tertib. Tidak ada yang merokok kecuali di Smoking Room. Tidak ada yang ngedeprok di sembarang tempat. Tidak ada kaki lima. Bus penjemput pun parkir dengan teratur. Everything is under control!
Kita bisa bandingkan bagaimana image awal dari sebuah negara saat kita tiba di bandaranya. Bandara Changi memberikan image sebuah negara yang tertib dengan peraturan yang dipatuhi oleh penduduknya. Sementara, SH menunjukkan betapa negara kita tidak tertib dan penduduknya sering tidak menaati peraturan bahkan pembuat peraturan itu sekalipun.
Bagaimana Indonesia mau memiliki wibawa yang cukup di mata warga negara asing yang datang ke Indonesia jika gerbang utamanya saja sudah mengesankan tidak baik. Kita berangan2 memajukan turisme dan pariwisata internasional, tapi tidak membenahi bandara kita ini. Bahkan, delegasi kenegaraan asing pun bisa malas melihat bandara kita ini.
Gw rasa, dalam hubungan internasional, Indonesia harus memulai dengan membenahi bandaranya terlebih dahulu. Dengan demikian, kita bisa memberikan First Impression yang baik.
Enjoy Your Burger!
Wirapati